Dishubkominfo, Singaparna – Budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi cerminan jati diri yang terus hidup di tengah masyarakat. Hal ini disampaikan oleh budayawan muda Cevi Whiesa Manunggaling Hurip, dalam podcast bertajuk kebudayaan lokal Tasikmalaya yang diselenggarakan pada Kamis (15/4/2025).
Dalam perbincangan tersebut, Cevi menyampaikan bahwa kelestarian kesenian tidak akan pernah terjadi apabila hanya dibebankan kepada pelaku seni atau seniman itu sendiri.
Menurutnya, peran masyarakat adalah elemen utama dalam menjaga eksistensi budaya lokal.
“Kuncinya kelestarian kesenian itu ada di masyarakat itu sendiri. Jadi lamun ngomongkeun, oh kumaha yeuh wayang teh kudu lestari gitu, nya balik deui ka masyarakatna. Da wayang bisa lestari teh lamun aya nu nanggap, lamun aya nu hajat nitah ngawayang,” ujar Cevi.
Cevi menyoroti fenomena saat ini, di mana berbagai bentuk kesenian tradisional seperti wayang golek, lais, hingga debus, mulai tersingkir dari panggung-panggung hajatan masyarakat. Acara besar seperti pernikahan dan khitanan lebih sering diisi oleh hiburan modern yang tidak mencerminkan identitas budaya lokal.
Menurut Cevi, masyarakat kini mulai mengalami krisis identitas budaya.
Ia menyebut kondisi ini dengan istilah “kahandap teu akaran, kaluhur teu sirungan”, yang menggambarkan betapa masyarakat kehilangan akar budaya dan tidak mengetahui arah kebudayaan ke depan. “Makanya eta tea, ka tukang teu nyaho, ka hareup teuing kumaha. Sehingga ya masyarakat hari ini seperti itu,” ucapnya.
Ia juga menekankan bahwa produk budaya bukan sekadar tontonan, tetapi mengandung nilai spiritual, kebersamaan, dan makna mendalam yang tidak dimiliki oleh hiburan instan.
Di masa lalu misalnya, nanggap wayang bukan hanya bentuk hiburan, tetapi juga disertai dengan doa bersama dan nilai-nilai luhur.
“Produk kita itu bukan hanya sekedar hiburan. Ulah gagabah siah nanggap wayang mah, pengajianana aya, didoakeun ku sararea ongkoh. Lamun rek ngomong idealis nya gitu, hiburanana geus puguh aya.”
Melalui podcast ini, Cevi mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk kembali menyadari bahwa budaya adalah milik bersama, bukan hanya milik segelintir pelaku seni.
Pelestarian budaya harus dimulai dari kesadaran kolektif dan ditopang oleh dukungan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan.
“Ini adalah produk milik kita, lahir dari kita, hasilna ge keur urang-urang keneh,” pungkasnya.***