Dishubkominfo, Singaparna – Kebudayaan Sunda di wilayah Tasikmalaya yang kerap dianggap sebagai representasi dari salah satu etnis terbesar di Jawa Barat ternyata menyimpan kisah yang lebih dalam dari sekadar bahasa dan adat istiadat.
Cevi Whiesa Manunggaling Hurip, seorang budayawan muda asal Kabupaten Tasikmalaya, mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana kebudayaan Sunda terus berkembang meski menghadapi pengaruh budaya luar yang kuat dalam podcast yang diadakan pada Kamis (15/4/2025).
Menurut Cevi, pemahaman masyarakat mengenai istilah “Sunda” hari ini seringkali terbatas hanya pada sebuah etnis yang tinggal di wilayah Jawa Barat. Padahal Sunda memiliki makna yang jauh lebih dalam.
Dalam wawancaranya, Cevi menjelaskan bahwa kata “Sunda” berasal dari kata “Sunada” yang berarti “api sejati yang agung” yang mencerminkan sebuah ajaran hidup yang seharusnya dapat mencakup lebih dari sekadar identitas etnis. “Sunda itu dulu adalah sebuah dataran luas, bahkan mencakup sebagian besar wilayah Asia Tenggara, yang dikenal dengan nama Sundaland,” ujar Cevi.
Sayangnya, lanjut Cevi, seiring berjalannya waktu kebudayaan Sunda semakin mengalami penyempitan makna. Lebih jauhnya, batasan administratif yang ada kini memisahkan kebudayaan Sunda menjadi beberapa sub-kategori berdasarkan daerah, seperti Sunda Priangan, Sunda Pakidulan, hingga Sunda Cirebonan.
“Perbedaan ini menciptakan karakteristik budaya yang sangat beragam, mulai dari dialek bahasa yang berbeda-beda hingga gaya hidup yang terpengaruh oleh letak geografis masing-masing daerah,” tambah Cevi.
Selain itu, Cevi juga mengungkapkan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi di masyarakat terutama dalam hal bahasa sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal. Salah satunya adalah kedatangan kerajaan Mataram yang membawa perubahan dalam pola penggunaan bahasa Sunda.
“Dulu, bahasa Sunda tidak mengenal yang namanya undak usuk basa atau tingkatan bahasa. Semua dianggap setara. Namun, ketika Mataram masuk, muncul pembagian kelas dalam penggunaan bahasa yang akhirnya membuat bahasa Sunda yang lebih sederhana menjadi ‘terkesan kasar’ di kalangan masyarakat kota,” jelasnya.
Cevi menambahkan, meski ada perbedaan dalam penggunaan bahasa dan adat, hal tersebut bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan, melainkan bagian dari dinamika kebudayaan yang harus dihargai.
“Bahasa itu bebas nilai. Mau digunakan dengan cara apapun, yang penting itu tetap menjadi bagian dari warisan budaya kita,” tuturnya.
Dalam konteks perkembangan kebudayaan di Tasikmalaya, Cevi juga menyoroti pentingnya generasi muda untuk kembali mengenal dan melestarikan kebudayaan lokal. “Sayangnya, banyak anak muda yang takut berbicara Sunda karena takut dianggap salah. Padahal, bahasa dan budaya kita adalah cerminan dari identitas kita yang paling mendalam,” katanya dengan penuh semangat.
Bagi Cevi, meskipun budaya luar semakin mendominasi, kebudayaan lokal seperti Sunda tetap harus dihargai dan dilestarikan. “Yang paling penting adalah, kita harus tahu akar kita. Kebudayaan kita tidak hanya diidentikkan dengan etnis, tapi dengan nilai-nilai yang telah turun temurun diajarkan. Itu yang harus kita jaga dan wariskan ke generasi berikutnya,” harapnya.
Dari seluruh pandangan dan pengalaman yang dibagikan, Cevi Whiesa memberikan sebuah pemahaman baru tentang bagaimana kebudayaan Sunda di Tasikmalaya dan Jawa Barat secara umum harus terus dipertahankan, tidak hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang terus berkembang mengikuti zaman.***