MERAH PUTIH: DIALEKTIKA KEBERANIAN DAN KESUCIAN

HUT Republik Indonesia Ke-80

Oleh: Aye Rakhmat Hidayat (Penulis yang juga berprofesi sebagai ASN)

Tujuh belas Agustus kembali mengetuk pintu sejarah kita. Seperti tahun-tahun sebelumnya, negeri ini akan kembali riuh dengan parade bendera, lomba-lomba rakyat, jargon nasionalisme, dan pidato-pidato penuh semangat di berbagai mimbar kekuasaan. Di sekolah-sekolah, anak-anak akan kembali dilatih baris-berbaris, menyanyikan lagu wajib, dan berdiri khidmat menyaksikan Sang
Merah Putih naik perlahan ke angkasa. Upacara berlangsung. Hormat diberikan. Teriakan “Merdeka!” menggema. Sesaat kita seolah menjadi bangsa yang paling nasionalis di muka bumi.

Namun setelah bendera dilipat, kain merah dan putih yang berkibar itu pun sering kali hanya menjadi simbol seremonial. Dilepaskan dari ruhnya, dicopot dari makna terdalamnya. Padahal,
jika kita jujur dan sudi berhenti sejenak dari kegaduhan perayaan, Sang Merah Putih tidaklah sekadar dua warna. Ia adalah dialektika nilai. Ia adalah komplementer yang tak bisa dipisah, seperti
siang dan malam, langit dan bumi, atau , jika boleh sedikit filosofis, seperti antara keberanian dan kebenaran.

Merah adalah warna darah. Ia adalah lambang keberanian. Warna ini mewakili nyawa yang dikorbankan, keberanian yang ditumpahkan, dan semangat yang tak pernah padam. Merah adalah
simbol perlawanan terhadap ketertindasan, sekaligus pernyataan bahwa kita, bangsa Indonesia, tidak akan tunduk pada penjajahan dalam bentuk apa pun —dulu dan (idealnya) sekarang.

Namun, keberanian adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi energi pendorong kemajuan, tapi juga bisa menjadi mesin destruksi jika tidak diarahkan. Sejarah terlalu sering mencatat bagaimana keberanian yang tak disertai nilai-nilai luhur justru melahirkan petaka. Dari pemimpin revolusioner yang berubah jadi tiran, hingga kaum muda yang semangatnya meledak-ledak tapi
arah perjuangannya tak tentu rimba. Keberanian yang tidak dibimbing oleh nurani, akan melahirkan nekat, bukan tekad. Akan menciptakan kegaduhan, dan bukan perubahan.

Di zaman ini, kita menyaksikan begitu banyak “keberanian” tampil di panggung sosial. Orang bicara lantang di media sosial, menyerang lawan opini dengan tanpa tedeng aling-aling,
memproduksi hoaks dan ujaran kebencian dengan nama “berani bersuara.” Padahal, di balik itu, bisa jadi bukan keberanian yang berbicara, melainkan hasrat kosong yang ingin dilihat, ingin dianggap penting. Inilah “merah” yang kehilangan “putih”-nya. Berani tapi nihil nilai. Panas tapi tanpa cahaya. Sementara putih, sebagai warna kesucian dan kebenaran, sering kali tampil sebagai
elemen yang diam. Ia bukan darah yang mengalir, bukan api yang menyala, tapi embun yang menenangkan. Putih adalah nilai-nilai moral, etika, kejujuran, keadilan, dan ketulusan. Di tengah
dunia yang gaduh dan penuh kompetisi ini, putih sering kali dianggap “kurang gaul”, tidak menarik, bahkan dianggap penghambat kemajuan. Ia kalah pamor dibanding merah yang menyalanyala.

Padahal, apa gunanya keberanian tanpa kebenaran? Apa gunanya semangat jika tidak tahu arah? Tanpa putih, kita mudah terjebak pada euforia nasionalisme yang semu. Kita berteriak “NKRI
harga mati!” tapi masih korupsi pada pagi hari. Kita menyanyikan “Bagimu Negeri” dengan tangis haru, lalu siangnya menyunat dana bansos. Kita berani tampil di televisi dan menyuarakan cinta
tanah air, tapi lupa pada rakyat kecil yang terpinggirkan oleh sistem yang kita biarkan korup. Putih yang tak punya merah adalah kebenaran yang bisu. Ia seperti guru bijak yang hanya berdiri di
pojok kelas, tak pernah didengar murid-muridnya yang ribut dan sibuk cari perhatian. Ia adalah etika yang hanya diajarkan di ruang kelas, tapi tidak dipraktikkan di ruang rapat, kantor birokrasi,
atau gedung parlemen.

Inilah paradoks Sang Merah Putih. Ia terdiri dari dua warna yang saling menegaskan satu sama lain. Keberanian yang dipandu oleh kebenaran akan menjadi kekuatan revolusioner yang
mencerahkan. Sebaliknya, nilai-nilai luhur yang disertai keberanian akan menjadi fondasi kokoh untuk membangun bangsa. Tanpa putih, merah adalah bahaya. Tanpa merah, putih adalah
ketakutan. Bangsa ini sedang berada di persimpangan, apakah kita akan menjadi bangsa yang hanya berani tapi kehilangan arah? Atau bangsa yang hanya tahu nilai-nilai tapi takut bertindak?
Apakah kita akan menjadi generasi yang mahir berteriak tapi gagap berpikir? Atau generasi yang sibuk belajar filsafat kebangsaan tapi tak mampu turun tangan membenahi realitas?

Perayaan kemerdekaan seharusnya menjadi momentum untuk menata kembali harmoni antara merah dan putih. Kita tidak butuh nasionalisme yang hanya menggelegar di bulan Agustus, tapi
menguap di bulan-bulan berikutnya. Kita tidak perlu semangat revolusi yang hanya hadir di panggung teater, sementara dalam kehidupan nyata, kita tunduk pada sistem yang menindas.
Kini, di era digital, merah dan putih menghadapi tantangan baru. Keberanian kini sering muncul dalam bentuk komentar-komentar anonim di media sosial, yang lebih sering menyerang ketimbang membangun. Kebenaran pun jadi kabur, sebab semua orang bisa bicara apa saja tanpa kejelasan rujukan, tanpa kejujuran intelektual. Apakah kita masih sanggup menjaga putih di tengah merah yang meledak-ledak di dunia maya? Apakah kita masih bisa merawat nalar jernih, ketika algoritma memaksa kita untuk hanya melihat apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang perlu kita tahu? Di zaman ini, keberanian tampil tanpa wajah, dan kebenaran kehilangan tempat.

Kita butuh merah yang berpijak pada putih, keberanian untuk membela yang benar, bukan hanya keberanian untuk tampil. Dan kita butuh putih yang berani bersuara, bukan hanya menyepi dalam sunyi. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi bangsa yang pandai berpesta, tapi gagap ketika diuji.

Sang Saka Merah Putih, jika direnungkan lebih dalam, adalah filosofi hidup berbangsa yang luar biasa indah. Ia tidak dirancang oleh desainer grafis, tidak pula hasil tender branding nasional. Ia
lahir dari jiwa bangsa, dari darah para pejuang dan nilai yang mereka perjuangkan. Ia adalah pengingat bahwa untuk merdeka, tidak cukup hanya berani. Dan untuk bertahan, tidak cukup
hanya benar. Maka, ketika bendera itu dikibarkan di tiang tertinggi negeri, mari jangan hanya hormat secara fisik. Hormati pula pesan yang ia bawa, bahwa kita adalah bangsa yang harus berani,
tapi juga benar. Harus bernyali, tapi juga bersih hati. Harus lantang, tapi juga luhur. Harus progresif, tapi tetap beradab. Bendera itu tidak akan pernah terbang sendiri. Ia hanya bisa berkibar jika ada angin yang menggerakkan. Dan angin itu —jika boleh kita tafsirkan secara puitis— adalah semangat rakyat yang menjaga makna merah dan putih tetap utuh. Tanpa itu, ia hanya kain dua warna, tertiup angin, tanpa arti.

Maka di ulang tahun Republik ini, mari kita tanyakan pada diri sendiri, sejauh mana kita menjadi bagian dari merah putih? Apakah kita sedang memperjuangkan nilai, atau sekadar sibuk menjadi
bising? Apakah kita masih punya keberanian untuk berkata jujur? Dan punya kejujuran untuk tetap berani? Karena jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton dari parade tahunan yang kita sebut kemerdekaan. Sementara merah dan putih di bendera itu, terus berkibar, menatap kita dengan mata sunyi, berharap suatu hari nanti kita benar-benar paham makna yang ia bawa.

Selamat Ulang Tahun Indonesiaku..

Dirgahayu !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *