Dishubkominfo, Singaparna – Julukan “Kota Santri” yang melekat pada Kabupaten Tasikmalaya sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Predikat ini lahir dari karakter religius dan budaya Islam yang kuat di tengah masyarakat.
Dalam sebuah podcast yang digelar pada Kamis (15/4/2025), budayawan muda asal Kabupaten Tasikmalaya, Cevi Whiesa Manunggaling Hurip, mengungkapkan pandangannya mengenai relevansi julukan tersebut di era modern saat ini.
Cevi menegaskan bahwa makna Kota Santri tidak dapat dilepaskan dari nilai ke-Islam-an yang telah lama mengakar di Tasikmalaya. “Dominasi masyarakat kita ini religius dan islami, sehingga label Kota Santri memang pantas digunakan. Ini bukan barang baru, sudah dari zaman dulu,” ungkapnya.
Selain sebagai Kota Santri, Tasikmalaya juga dikenal dengan sebutan “Sukapura Ngadaun Ngora” dan “Mutiara dari Priangan Timur”, yang menurut Cevi memperkaya identitas budaya daerah tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa label harus sejalan dengan perilaku masyarakat.
Namun, realitas saat ini justru menunjukkan kekhawatiran. Ia menyayangkan fenomena maraknya kriminalitas dan angka bunuh diri yang meningkat, sesuatu yang menurutnya bertentangan dengan identitas religius daerah. “Hari ini kriminalitas naik, angka bunuh diri juga naik. Kita harus berani mengakui kesalahan kita sebagai bahan evaluasi bersama,” ungkapnya.
“Kalau Tasik disebut Kota Santri, atuh kudu luyu jeung kelakuan masyarakatna,” tutur Cevi.
Lebih jauh, Cevi menyoroti peran anak muda sebagai kunci mempertahankan nilai-nilai tersebut. Ia menyayangkan, saat ini banyak generasi muda yang mulai kehilangan identitas spiritual dan kebudayaannya. “Budaya geus teu nyaho, spiritual kabur. Rek naon deui nu bisa dibanggakeun?” ujarnya.
Meski begitu, Cevi tetap optimistis dan meyakini jika generasi muda mampu memperkuat jati diri mereka, maka julukan Kota Santri akan tetap relevan. “Kuncinya di anak muda. Kalau mau menjaga, Kota Santri akan terus hidup, bukan sekadar sebutan,” tambahnya.
Di tengah gempuran era digital dan perubahan zaman, Cevi berharap masyarakat Tasikmalaya, khususnya generasi muda, dapat kembali menghidupkan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan lokal.
“Identitas itu harus dirawat, bukan hanya dibanggakan. Ayo sama-sama kembali ke akar budaya dan agama kita,” pungkas Cevi penuh semangat.***