Oleh: Aye Rakhmat Hidayat (Penulis yang juga berprofesi sebagai ASN)
Sebagai ASN, Penulis kerap merenungkan hakikat dari peringatan hari jadi kabupaten Tasikmalaya yang rutin kita selenggarakan setiap tahun.
Tradisi ini, meskipun telah mengakar kuat dalam praktik pemerintahan lokal, sepatutnya tidak luput dari evaluasi kritis.
Dalam kesempatan ini, izinkan Penulis menyampaikan pandangan tentang bagaimana kita dapat memaknai kembali peringatan hari jadi sebagai sebuah momentum yang tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga substantif bagi kemajuan daerah.
Peringatan hari jadi sejatinya memiliki potensi besar sebagai ruang refleksi kolektif.
Ia bisa menjadi titik balik untuk menengok sejauh mana pembangunan telah berjalan, sekaligus merancang langkah strategis ke depan.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya, acara ini sering kali terjebak dalam rutinitas yang kehilangan ruhnya.
Kita menyaksikan bagaimana upacara demi upacara digelar dengan protokol yang nyaris sama setiap tahunnya, sementara partisipasi masyarakat tampak masih bersifat relative pasif, atau setidaknya belum terlihat partisipasi yang lebih aktif dan kreatif.
Padahal, esensi dari sebuah peringatan seharusnya terletak pada kemampuannya untuk menyatukan visi dan menggerakkan seluruh komponen masyarakat.
Di sinilah urgensinya kita mempertanyakan bagaimana agar peringatan hari jadi tidak sekadar menjadi ajang seremonial belaka, melainkan benar-benar memberikan dampak dan manfaat yang lebih nyata.
Beberapa hal yang mungkin kita bisa upayakan, misalnya, pertama, perlu ada pergeseran paradigma dari pendekatan yang berorientasi pada kemewahan acara menuju pendekatan yang berfokus pada nilai tambah bagi masyarakat.
Sebagai contoh, alih-alih menggelar konser atau even pesta seni dengan anggaran besar, dana tersebut dapat dialihkan untuk program pelatihan keterampilan bagi pemuda atau bantuan modal usaha kecil.
Dengan demikian, peringatan hari jadi tidak hanya berkesan di ingatan sebagai sebuah pesta, tetapi juga meninggalkan warisan yang berkelanjutan.
Kedua, momentum hari jadi dapat dimanfaatkan sebagai ruang dialog antara pemerintah dan warga.
Selama ini, acara semacam ini cenderung didominasi oleh pidato dan laporan resmi dari para pejabat kita, sementara suara masyarakat masih jarang mendapat tempat.
Mengapa tidak kita ubah formatnya menjadi semacam forum terbuka di mana warga bisa menyampaikan aspirasi, keluhan, atau bahkan apresiasi terhadap kinerja pemerintah?
Pendekatan semacam ini tidak hanya akan memperkuat akuntabilitas, tetapi juga membangun rasa kepemilikan bersama terhadap pembangunan daerah.
Ketiga, aspek pelestarian budaya dan sejarah seharusnya mendapat porsi yang lebih berarti.
Selama ini, kita sering terjebak pada simbol-simbol budaya yang bersifat artifisial tarian kolosal atau karnaval yang megah, tetapi miskin makna.
Padahal, pelestarian budaya yang sesungguhnya terletak pada upaya mendokumentasikan, mempelajari, dan meneruskan nilai-nilai luhur kepada generasi muda.
Peringatan hari jadi bisa menjadi momentum untuk meluncurkan program-program semacam ini, seperti pendirian pusat dokumentasi sejarah daerah atau integrasi muatan lokal ke dalam kurikulum pendidikan.
Keempat, efisiensi anggaran harus menjadi prinsip utama. Tidak dapat dimungkiri bahwa selama ini ada kesan pemborosan dalam penyelenggaraan hari jadi.
Dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kepentingan yang lebih mendesak justru terkuras untuk hal-hal yang bersifat sesaat.
Di sinilah pentingnya komitmen bersama untuk menata ulang prioritas.
Bukan berarti kita harus menghilangkan unsur kegembiraan dalam peringatan tersebut, tetapi lebih pada memastikan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar memberikan manfaat optimal.
Kelima, teknologi dapat menjadi alat ampuh untuk memperluas dampak peringatan hari jadi.
Di era digital seperti sekarang, tidak ada alasan untuk membatasi partisipasi hanya pada mereka yang hadir secara fisik.
Kita bisa memanfaatkan platform digital untuk menyelenggarakan lomba esai sejarah daerah secara daring, misalnya, atau membuat pameran virtual tentang capaian pembangunan.
Pendekatan semacam ini tidak hanya lebih inklusif, tetapi juga menjangkau generasi muda yang hidup di dunia digital.
Terakhir, dan yang paling penting, peringatan hari jadi harus mampu menjadi pemersatu.
Dalam konteks masyarakat yang semakin heterogen dan terkadang terfragmentasi, momentum semacam ini seharusnya bisa menjadi perekat sosial.
Bukan dengan cara menggelar pesta yang menghamburkan uang, melainkan melalui kegiatan-kegiatan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga lansia, dari akademisi hingga pelaku usaha.
Penutup, Penulis meyakini betapa pentingnya tradisi semacam ini selama ia dijalankan dengan penuh kesadaran akan makna dan tujuannya.
Peringatan hari jadi bukanlah sekadar kewajiban tahunan yang harus kita tunaikan, melainkan sebuah kesempatan emas untuk berefleksi, berinovasi, dan bergerak maju bersama.
Marilah kita jadikan momen ini sebagai titik tolak untuk membangun daerah yang tidak hanya besar dalam usia, tetapi juga matang dalam kebijaksanaan dan pembangunan.
Tentunya menjadi harapan kita semua, pemerintah dan masyarakat, kedepan dapat terus bekerja sama secara lebih produktif untuk mewujudkan peringatan hari jadi yang lebih bermakna, efisien, dan berdampak nyata bagi kemajuan daerah tercinta.***