SINERGI BUMDES DAN KOPERASI MERAH PUTIH: MENCARI MODEL KOLABORASI IDEAL UNTUK PENGUATAN EKONOMI DESA

Oleh: Aye Rakhmat Hidayat (Penulis yang juga berprofesi sebagai ASN)

Ekonomi desa di Indonesia telah lama bergulat dengan berbagai tantangan struktural, mulai dari terbatasnya akses permodalan, lemahnya rantai distribusi, hingga rendahnya nilai tambah produk lokal.

Dalam konteks inilah dua entitas ekonomi desa Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan Koperasi Merah Putih (KMP) diharapkan dapat berperan sebagai penyangga kesejahteraan masyarakat.

Namun, kehadiran KMP yang digagas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memantik pertanyaan mendasar: bagaimana menciptakan kolaborasi produktif antara kedua lembaga ini, alih-alih persaingan yang justru kontraproduktif?

BUMDes, yang telah memiliki landasan hukum kuat melalui UU Desa No. 6/2014, sejatinya dirancang sebagai instrumen penggerak ekonomi berbasis aset dan kearifan lokal.

Keberhasilan sejumlah BUMDes, seperti Ponggok di Klaten yang mampu mengelola wisata air hingga menghasilkan miliaran rupiah per tahun, membuktikan potensi besar model ini.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua BUMDes berjalan optimal. Data Kementerian Desa (2023) mengungkap sekitar 30% BUMDes tidak aktif, dengan masalah klasik seperti keterbatasan modal, kurangnya kapasitas pengurus, dan lemahnya akses pasar. Di sinilah Koperasi Merah Putih seharusnya dapat berperan sebagai mitra strategis, bukan pesaing.

Secara konseptual, KMP yang digadang-gadang akan didirikan di setiap desa memiliki peluang untuk mengisi celah-celah yang belum terjangkau BUMDes.

Jika BUMDes berfokus pada pengelolaan aset desa dan usaha skala komunitas, KMP dapat
mengkhususkan diri pada pemberdayaan ekonomi individual melalui model koperasi simpan pinjam atau koperasi produsen.

Contoh konkretnya, di sektor pertanian, BUMDes dapat mengelola lumbung pangan desa dan sarana irigasi, sementara KMP berperan dalam penyediaan pupuk bersubsidi, pembiayaan mesin pertanian, serta
pemasaran hasil panen.

Pembagian peran seperti ini akan menghindarkan duplikasi fungsi sekaligus memaksimalkan dampak ekonomi bagi warga.

Namun, untuk mencapai sinergi ideal tersebut, setidaknya ada tiga prasyarat krusial yang harus dipenuhi.

Pertama, kejelasan regulasi yang mengatur hubungan kelembagaan antara BUMDes dan KMP.

Pemerintah perlu menerbitkan pedoman teknis yang secara eksplisit memetakan pembagian tugas, mekanisme koordinasi, serta batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak.
Pengalaman pahit masa lalu dengan KUD (Koperasi Unit Desa) yang kerap bersinggungan dengan BUMDes harus menjadi pelajaran berharga.

Kedua, penyelarasan skema pendanaan. Alih-alih
menciptakan dua aliran dana terpisah APBDes untuk BUMDes dan APBN untuk KMP perlu dirancang mekanisme hibrida dimana kedua lembaga dapat mengakses sumber pendanaan yang saling melengkapi tanpa menimbulkan ketergantungan.

Ketiga, pembangunan sistem governance yang transparan dan akuntabel.

Baik BUMDes maupun KMP rentan terhadap praktik korupsi dan nepotisme jika tidak diawasi dengan ketat.

Pada tataran operasional, kolaborasi BUMDes-KMP dapat diwujudkan dalam beberapa model.

Di bidang logistik pertanian, misalnya, BUMDes dapat bertindak sebagai penyedia gudang penyimpanan dan transportasi, sementara KMP mengorganisir petani dalam klaster-klaster komoditas unggulan.

Di sektor keuangan mikro, KMP dapat menjalankan fungsi simpan pinjam dengan bunga rendah untuk anggota, sedangkan BUMDes memastikan dana tersebut digunakan untuk usaha produktif melalui
pendampingan teknis.

Pengalaman Koperasi Tani Nelayan (KTN) di Lamongan patut menjadi rujukan, dimana koperasi berhasil meningkatkan pendapatan petani hingga 40% melalui integrasi dengan BUMDes dalam hal pengolahan pascapanen dan
pemasaran.

Tantangan terberat dalam membangun sinergi ini justru mungkin datang dari aspek politik kelembagaan.
BUMDes, sebagai representasi otonomi desa, cenderung menjaga kedaulatannya dari intervensi eksternal.

Sementara KMP, sebagai program nasional,
berpotensi membawa kepentingan politik pusat yang tidak selalu sejalan dengan
kebutuhan lokal.

Untuk mengatasi ini, diperlukan pendekatan kultural yang melibatkan seluruh stakeholders mulai dari kepala desa, pengurus BUMDes, tokoh masyarakat, hingga aparat koperasi dalam perumusan model kerjasama yang adil.

Forum Musyawarah Desa harus menjadi arena negosiasi untuk memastikan kehadiran KMP tidak melemahkan legitimasi BUMDes yang telah dibangun bertahun-tahun.

Dari perspektif pembangunan berkelanjutan, kolaborasi BUMDes-KMP sejatinya bukan sekadar persoalan efisiensi ekonomi, melainkan juga ujian bagi demokrasi ekonomi di tingkat akar rumput.

Kedua lembaga ini, jika dapat bekerja sama secara harmonis, mampu mewujudkan trilogi koperasi yang dicita-citakan Bung Hatta: pendidikan ekonomi rakyat, penguatan modal sosial, dan pemerataan kesejahteraan.
Namun, semua itu hanya mungkin tercapai jika pemerintah memiliki keberanian untuk melakukan langkah-langkah disruptif: memangkas birokrasi yang berbelit, menyederhanakan perizinan, dan yang terpenting, mendengarkan suara masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Pada akhirnya, keberhasilan sinergi BUMDes dan Koperasi Merah Putih tidak akan diukur dari jumlah desa yang terjangkau program, melainkan dari sejauh mana kolaborasi ini mampu menciptakan ekosistem ekonomi desa yang inklusif dan berkelanjutan.

Sejarah membuktikan bahwa program top-down yang mengabaikan konteks lokal hanya akan menjadi proyek mercusuar yang menghabiskan anggaran tanpa meninggalkan jejak berarti.

Pilihan ada di tangan pemerintah: menjadikan KMP sebagai mitra strategis BUMDes, atau membiarkannya menjadi episode lain dalam daftar panjang kebijakan ekonomi desa yang gagal paham.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *