MENJAGA SAWAH, MENJAGA KEHIDUPAN: USULAN INSENTIF FISKAL UNTUK PETANI LP2B

Oleh: Satya Laksana (Perencana Ahli Muda Bappelitbangda Kabupaten Tasikmalaya)

Beberapa waktu lalu, saya menulis tentang pentingnya memberikan insentif kepada daerah yang menjaga fungsi ekologisnya—seperti kualitas udara dan sumber daya air—melalui pendekatan fiskal berbasis ekologi. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari gagasan tersebut. Kali ini, saya mengajak kita melihat sisi lain dari isu yang sama: pelestarian lahan pertanian, khususnya sawah, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan di Kabupaten Tasikmalaya.

Kabupaten Tasikmalaya, dengan hamparan subur dan berbagai komoditas unggulan pertaniannya, telah mengambil langkah penting untuk menjaga keberlangsungan lahan pangan. Ini diwujudkan melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Lokasi-lokasi LP2B bahkan telah dirinci dalam Peraturan Bupati dan diperkuat melalui dokumen tata ruang seperti RTRW dan RDTR. Sebuah kemajuan yang layak diapresiasi, karena tidak semua daerah memiliki komitmen serupa.

Namun, di balik keberadaan regulasi ini, masih tersimpan tantangan dalam implementasinya. Hingga saat ini, kebijakan LP2B lebih banyak berfungsi sebagai alat kontrol perizinan—misalnya untuk mencegah pembangunan di LP2B atau Lahan Sawah Dilindungi (LSD). Fungsi utamanya sebagai kontrak sosial dan insentif bagi petani belum berjalan sebagaimana mestinya.

Padahal, amanat kebijakan nasional sangat jelas: pemerintah daerah berkewajiban memberikan insentif kepada pemilik lahan LP2B. Insentif ini tidak selalu dalam bentuk pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saja, tetapi bisa hadir dalam berbagai bentuk—seperti fasilitasi irigasi, perbaikan jalan usaha tani, subsidi pupuk dan benih, atau bantuan alat dan mesin pertanian. Kegiatan-kegiatan ini memang sudah sering dilakukan dalam kerangka program ketahanan pangan. Namun, selama tidak secara spesifik ditujukan kepada pemilik LP2B, maka petani tidak merasa bahwa itu adalah bentuk penghargaan atas komitmen menjaga lahannya tetap sebagai sawah.

Ketika insentif tidak dirasakan secara langsung dan tidak dikaitkan secara eksplisit dengan status LP2B, maka konsekuensi regulasi pun kehilangan maknanya. Petani tidak merasa memiliki kewajiban untuk mempertahankan lahannya, dan secara hukum pun tidak ada dasar yang kuat untuk mencegah mereka jika suatu saat memutuskan menjual atau mengalihfungsikan lahan mereka.

Di sisi lain, pemerintah daerah menghadapi dilema fiskal. Kapasitas kemandirian fiskal Kabupaten Tasikmalaya masih di bawah 10 persen. Ketika PAD sangat kecil, membebaskan PBB bagi pemilik LP2B akan berdampak pada berkurangnya penerimaan daerah. Jika tidak ada solusi kreatif, maka kewajiban untuk memberi insentif berisiko tak pernah bisa dijalankan.

Di sinilah perlu dipikirkan pendekatan lintas level. Salah satu gagasan yang bisa dijajaki adalah mekanisme transfer fiskal dari pemerintah provinsi kepada desa, sebagai bentuk subsidi bagi PBB lahan LP2B. Dana ini digunakan untuk membayarkan PBB petani, sehingga petani terbebas dari beban pajak, namun pemerintah daerah tetap memperoleh PAD. Insentif ini juga harus disertai dengan komitmen tertulis dari petani untuk tidak menjual atau mengalihfungsikan lahannya dalam jangka waktu tertentu.

Mekanisme seperti ini lebih dari sekadar solusi fiskal. Ia juga membangun kejelasan hubungan antara hak dan kewajiban, antara penghargaan dan tanggung jawab. Dan yang lebih penting, mekanisme ini sejalan dengan semangat transfer fiskal berbasis ekologi: memberikan dukungan keuangan kepada daerah atau individu yang menjaga fungsi ekologis lahan demi kepentingan publik yang lebih luas.

Peran provinsi sangat strategis. Sebagai level pemerintahan yang tidak memiliki lahan pertanian secara administratif, sudah sepatutnya anggaran provinsi diarahkan untuk mendukung kabupaten/kota yang menjalankan kebijakan perlindungan lahan secara konkret melalui LP2B. Alokasi dana provinsi tidak hanya akan membantu petani, tetapi juga akan memperkuat kapasitas fiskal desa, memperjelas fungsi LP2B, dan menjaga ketahanan pangan Jawa Barat dalam jangka panjang.

Menjaga sawah bukan hanya tugas petani. Ia adalah komitmen bersama lintas wilayah, lintas sektor, dan lintas generasi. Saat kebijakan tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka hukum menjadi kehilangan daya hidupnya. Tapi saat insentif diberikan dengan adil, dan dikaitkan secara langsung dengan tanggung jawab ekologis, maka kita menciptakan sistem yang berfungsi—bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara sosial dan moral.

Harapan besar kini terletak pada kepemimpinan di tingkat provinsi. Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, yang dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan dan desa, memiliki kesempatan untuk menghadirkan pendekatan baru dalam perlindungan sawah: kebijakan fiskal yang berpihak, strategis, dan berkeadilan.

Karena menjaga sawah, pada akhirnya, adalah menjaga kehidupan.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *